Beranda | Artikel
Kaidah Ke. 18 : Barang Mitsliyat Diganti Dengan Barang Semisalnya
Senin, 14 September 2009

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kesembilan Belas:

إِذَا تَعَذَّرَ الْمُسَمَّى رُجِعَ إِلَى الْقِيْمَةِ

Apabila Harga Yang Disepakati Tidak Diketahui Maka Dikembalikan Kepada Harga Pasar

Dalam transaksi jual beli, pada asalnya, pembeli wajib membayar kepada penjual senilai harga yang telah disepakati oleh keduanya. Namun, apabila harga yang telah disepakati tersebut tidak diketahui karena penjual dan pembeli sama-sama lupa atau karena sebab lainnya, maka dalam hal ini timbul permasalahan tentang penentuan harga barang tersebut.

Kaidah di atas menjelaskan bahwa apabila harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli tersebut di kemudian hari tidak diketahui dikarenakan suatu sebab tertentu, padahal harga barang belum diserahkan oleh si pembeli, maka dalam hal ini harga barang ditentukan sesuai umumnya harga barang tersebut di pasaran.

Kaidah ini berbeda dengan kaidah sebelumnya. Karena, dalam suatu akad transaksi yang harganya telah ditentukan dan disepakati oleh pelaku transaksi, ada kemungkinan besarnya harga tersebut kemudian tidak diketahui lagi. Atau ada juga kemungkinan bahwa harga yang telah disepakati tersebut tidak mungkin diserahkan dikarenakan tidak sahnya akad transaksi, baik karena gharâr (unsur tipuan), karena adanya perkara yang haram, atau sebab-sebab lainnya.

Di antara implementasi kaidah ini dapat diketahui pada contoh-contoh berikut:

1. Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli dengan kesepakatan harga tertentu, dan sebelum pembayaran diserahkan, keduanya tidak mengetahui berapa besarnya harga yang telah disepakati tersebut, maka dalam hal ini harga barang ditentukan sesuai harga secara umum di pasaran, karena umumnya barang-barang dagangan diperjual-belikan sesuai harganya secara umum di pasaran.

2. Apabila seseorang mempekerjakan orang lain dengan kesepakatan upah tertentu, kemudian ketika datang waktu pemberian upah, ternyata tidak diketahui lagi berapa besarnya upah tersebut, dikarenakan kedua belah pihak lupa atau karena sebab lainnya, maka dalam hal ini dikembalikan kepada jumlah upah untuk pekerjaan semisal secara umum di daerah bersangkutan.

3. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita, namun ia belum menentukan besarnya mahar yang harus ia serahkan kepada isterinya, maka dalam hal ini mahar ditentukan berdasarkan umumnya mahar yang diberikan untuk wanita semisal di daerah bersangkutan. Wallâhu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh:

إِذَا تَعَذَّرَ مَعْرِفَةُ مَنْ لَهُ الْحَقُّ جُعِلَ كَالْمَعْدُوْمِ

Apabila Pemilik Suatu Barang Tidak Diketahui Maka Barang Tersebut Dianggap Tidak Ada Pemiliknya

Apabila seseorang menemukan barang milik orang lain, namun tidak diketahui secara jelas siapa pemiliknya, maka dalam hal ini timbul permasalahan berkaitan dengan pemanfaatan barang tersebut.

Oleh karena itu, kaidah ini menjelaskan bahwa suatu barang yang tidak diketahui siapa pemiliknya dan sangat sulit untuk mengetahuinya, maka barang tersebut dianggap tidak ada pemiliknya. Dan wajib untuk memanfaatkan barang tersebut dalam perkara-perkara yang paling bermanfaat bagi pemiliknya atau orang yang paling berhak untuk memanfaatkannya.

Di antara implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

1. Berkaitan dengan barang temuan (luqathah). Seseorang yang menemukan barang temuan, kemudian ia berusaha untuk mengumumkan tentang penemuan tersebut, namun pemiliknya tidak juga bisa diketahui, maka barang tersebut menjadi milik si penemu. Karena dialah orang yang paling berhak untuk memilikinya.

2. Apabila seseorang memakai barang orang lain tanpa izin, kemudian tatkala ia ingin mengembalikan barang tersebut, ternyata tidak diketahui siapa pemiliknya, dan ia sangat kesulitan untuk mengetahui pemiliknya, maka dalam hal ini ia bisa menyerahkan barang tersebut ke Baitul Mal supaya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Atau bisa juga ia menyedekahkan barang tersebut atas nama pemiliknya dengan niat apabila pemiliknya datang maka ditawarkan kepadanya apakah ia setuju jika barang tersebut disedekahkan sehingga ia mendapatkan pahala sedekah, atau si pemilik barang ingin supaya barang tersebut diganti, sehingga pahala sedekah menjadi milik si penemu barang.

3. Berkaitan dengan harta hasil curian atau hasil rampokan. Apabila harta tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya, maka harta tersebut bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum, atau bisa juga disedekahkan kepada fakir miskin. Dan bagi orang yang menerima sedekah dari harta tersebut, halal baginya untuk memanfaatkannya, karena harta tersebut pemiliknya tidak diketahui, maka dianggap tidak ada pemiliknya.

4. Seseorang yang meninggal dunia sedangkan ahli warisnya tidak diketahui, maka harta warisannya dimasukkan ke Baitul Mal untuk dimanfaatkan dalam perkara-perkata yang maslahat.

5. Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan namun tidak diketahui siapa walinya, maka ia dianggap seorang yang tidak punya wali. Sehingga ia dinikahkan oleh wali hakim. Wallâhu `a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2519-kaidah-ke-19-20-apabila-harga-yang-disepakati-tidak-diketahui-dikembalikan-kepada-harga-pasar.html